Sepanjang ingatanku, aku
memanggilnya Mama. Dari saat tinggal di Bandung sampai kemudian pindah ke
Bumiayu, aku memanggilnya dengan sebutan Mama. Untuk ukuran lingkunganku di
Bumiayu, aku pernah ditertawakan teman-temanku karena memanggilnya dengan
sebutan Mama. Untuk keluarga sangat sederhana macam kami, sebutan Mama
dikatakan terlalu berlebihan. Tapi aku dan adik-adikku tetap memanggilnya Mama.
Saat membayangkan Mama, dalam
benakku akan menggambarkan sosok wanita lembut, penuh pengabdian terhadap
suami, anak-anak dan keluarga besar kami. Walau sering berbeda pendapat dengan
Bapak, yang menimbulkan adu argumen, Mama adalah jembatan penghubung antara
anak-anaknya, keluarga besar kami, tetangga terhadap Bapak. Awal sebalku pada
Mama adalah karena dia menjadi sosok wanita penuh “nerimo” terhadap watak keras
Bapakku. Karenanya, aku berjanji pada diriku sendiri, aku tidak ingin menjadi
seperti Mama.
Mama adalah sosok tangguh. Menikah
di usia muda dan mendapatkan lelaki berwatak keras macam
Bapak. Tak terhitung banyaknya air mata dan kesedihan yang telah dialami, tapi
tetap, dengan pengabdian “nerimo”-nya. Mama selalu menjadi pilar di keluarga
kami. Selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk keluarganya.
Mama hanya lulusan SMP. Tapi
sepanjang ingatan masa kecilku, aku tanpa bersekolah TK, bisa membaca dan
menulis oleh ajarannya. Mengenal lagu-lagu anak-anak darinya. Kala Mama masih
punya waktu banyak, sebagai pengantar tidur, Mama bercerita kepada kami. Entah
cerita fiksi maupun cerita tentang nabi-nabi. Itu sebelum Mama terlalu lelah
berdagang untuk membantu perekonomian keluarga kami. Mulai saat aku SMP,
masa-masa bisa bercerita dan mengobrol hilang karena kesibukannya. Tentu saja
kami tidak bisa protes. Mama sudah cukup lelah saat malam.
Bagiku, Mama itu cantik. Dulu
sebelum berjilbab, rambut panjangnya disanggul sedemikian rupa. Berganti model
sanggul, sederhana tapi anggun. Kata Mama, rambut panjangnya lah yang membuat
tertarik Bapak Tua (Bapak dari Bapakku) untuk menjadikannya menantu ^_^
Aku dan Mama mulai memperbaiki
komunikasi kami kembali saat aku sudah hijrah ke Jakarta. Saat pulang, kami
menyempatkan diri mengobrol banyak. Momen yang sempat hilang. Beda usiaku yang
hanya 18 tahun dengan Mama, menjadikan Mama seperti kakak, sahabatku.
Kini, sering kali aku dibuat sebal
oleh Mama. Bagaimana tidak, setiap aku punya masalah yang aku pendam sendiri, karena
jika aku berani menelfonnya, aku pasti menangis, Mama seakan punya indra keenam
yang bisa mengendus perasaanku. Aku merasa sudah cukup merepotkannya. Kadang
enggan meminta bantuan karena aku tidak ingin membebaninya. Tapi, beliau selalu
tahu tanpa ada yang memberi tahunya. Aku sebal. Karena Mama pasti akan meluncur
dari Bumiayu ke Jakarta, naik bis dan sampai ke rumah tanpa dijemput di
terminal, kadang tanpa pemberitahuan, menelfon saat sampai di depan rumah. Dan
Mama, hanya dengan mengingatmu saja, membuatku menangis.
Mama, aku sebal kepadamu. Karena
saat aku sedang gundah, bercerita padamu membuatku menangis tanpa bisa
menahannya. Karena Mama selalu ada untukku tanpa diminta. Karena doa-doamu
selalu terlantun untuk kami. Karena Mama selalu berusaha memberikan yang
terbaik yang bisa Mama lakukan untuk kami.
Mama, aku sebal padamu karena aku
merasa tidak akan sanggup membalas semua kebaikanmu padaku. Tapi Mama, aku akan selalu menyayangimu dengan
caraku. Semoga Allah selalu menyayangimu dan semakin memberkahi hidupmu.
Aamiin....