Rabu, 13 Februari 2013

Aku sebal pada ibuku



Sepanjang ingatanku, aku memanggilnya Mama. Dari saat tinggal di Bandung sampai kemudian pindah ke Bumiayu, aku memanggilnya dengan sebutan Mama. Untuk ukuran lingkunganku di Bumiayu, aku pernah ditertawakan teman-temanku karena memanggilnya dengan sebutan Mama. Untuk keluarga sangat sederhana macam kami, sebutan Mama dikatakan terlalu berlebihan. Tapi aku dan adik-adikku tetap memanggilnya Mama.

Saat membayangkan Mama, dalam benakku akan menggambarkan sosok wanita lembut, penuh pengabdian terhadap suami, anak-anak dan keluarga besar kami. Walau sering berbeda pendapat dengan Bapak, yang menimbulkan adu argumen, Mama adalah jembatan penghubung antara anak-anaknya, keluarga besar kami, tetangga terhadap Bapak. Awal sebalku pada Mama adalah karena dia menjadi sosok wanita penuh “nerimo” terhadap watak keras Bapakku. Karenanya, aku berjanji pada diriku sendiri, aku tidak ingin menjadi seperti Mama.

Mama adalah sosok tangguh. Menikah di usia muda dan mendapatkan lelaki berwatak keras macam Bapak. Tak terhitung banyaknya air mata dan kesedihan yang telah dialami, tapi tetap, dengan pengabdian “nerimo”-nya. Mama selalu menjadi pilar di keluarga kami. Selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk keluarganya. 

Mama hanya lulusan SMP. Tapi sepanjang ingatan masa kecilku, aku tanpa bersekolah TK, bisa membaca dan menulis oleh ajarannya. Mengenal lagu-lagu anak-anak darinya. Kala Mama masih punya waktu banyak, sebagai pengantar tidur, Mama bercerita kepada kami. Entah cerita fiksi maupun cerita tentang nabi-nabi. Itu sebelum Mama terlalu lelah berdagang untuk membantu perekonomian keluarga kami. Mulai saat aku SMP, masa-masa bisa bercerita dan mengobrol hilang karena kesibukannya. Tentu saja kami tidak bisa protes. Mama sudah cukup lelah saat malam.

Bagiku, Mama itu cantik. Dulu sebelum berjilbab, rambut panjangnya disanggul sedemikian rupa. Berganti model sanggul, sederhana tapi anggun. Kata Mama, rambut panjangnya lah yang membuat tertarik Bapak Tua (Bapak dari Bapakku) untuk menjadikannya menantu ^_^

Aku dan Mama mulai memperbaiki komunikasi kami kembali saat aku sudah hijrah ke Jakarta. Saat pulang, kami menyempatkan diri mengobrol banyak. Momen yang sempat hilang. Beda usiaku yang hanya 18 tahun dengan Mama, menjadikan Mama seperti kakak, sahabatku. 

Kini, sering kali aku dibuat sebal oleh Mama. Bagaimana tidak, setiap aku punya masalah yang aku pendam sendiri, karena jika aku berani menelfonnya, aku pasti menangis, Mama seakan punya indra keenam yang bisa mengendus perasaanku. Aku merasa sudah cukup merepotkannya. Kadang enggan meminta bantuan karena aku tidak ingin membebaninya. Tapi, beliau selalu tahu tanpa ada yang memberi tahunya. Aku sebal. Karena Mama pasti akan meluncur dari Bumiayu ke Jakarta, naik bis dan sampai ke rumah tanpa dijemput di terminal, kadang tanpa pemberitahuan, menelfon saat sampai di depan rumah. Dan Mama, hanya dengan mengingatmu saja, membuatku menangis.
Mama, aku sebal kepadamu. Karena saat aku sedang gundah, bercerita padamu membuatku menangis tanpa bisa menahannya. Karena Mama selalu ada untukku tanpa diminta. Karena doa-doamu selalu terlantun untuk kami. Karena Mama selalu berusaha memberikan yang terbaik yang bisa Mama lakukan untuk kami.

Mama, aku sebal padamu karena aku merasa tidak akan sanggup membalas semua kebaikanmu padaku.  Tapi Mama, aku akan selalu menyayangimu dengan caraku. Semoga Allah selalu menyayangimu dan semakin memberkahi hidupmu. Aamiin....

2 komentar:

  1. mama, ibu, emak, bunda.. sebuah kata yang begitu indah yang pernah diucapkan anak manusia

    BalasHapus