Senin, 21 Januari 2013

Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah



Kamis, efek banjir melanda Jakarta, listrik di kantor hanya sanggup menyuplai lampu. Itupun nyala padam. Cari-cari kesibukan, maka buku pinjaman dari Kepala Seksiku pun jadi pilihan. Kau, Aku dan Sepucuk Angpao Merah. Buku itu sudah lama nongkrong manis di mejaku. Seperti biasa, aku malas mengawali membacanya. Padahal, seperti biasa pula, kalau aku sudah mengawalinya, aku akan sulit mengakhirinya, tidak setelah tamat dibaca :D

Mengisahkan seorang Borno, bujang berhati paling lurus. Seperti biasa, Tere Liye meramu kehidupan sederhana tapi kaya dengan ajaran nilai-nilai, nasihat, kisah, cinta, persahabatan, tanpa terasa menggurui. Kisah yang romantis tapi tidak picisan. Karena cinta memang tetap harus realistis :)

Membaca buku ini, aku dibuat menangis dan tertawa dalam kubikelku. Banyak kalimat sarat nasihat, dan yang pertama dan paling “klik” adalah salah satu nasihat Pak Tua kepada Borno saat dia berkumbang kesedihan. "Kau lupa, Borno. Kalau hati sedang banyak pikiran, gelisah, kau selalu punya teman dekat. Mereka bisa jadi penghiburan, bukan sebaliknya tambah kauabaikan. Nah, itulah tips terhebatnya. Habiskan masa-masa sulit kau dengan teman terbaik, maka semua akan lebih ringan."

Kalimat itu, langsung mengingatkanku pada keluarga dan sahabat-sahabatku. Pada siapa aku biasa berkeluh, berbagi masalah dan penyelesaiannya, seharusnya juga berbagi kesenangan, atau cukup dengan mendengarkan cerita dan atau memberi kalimat penghiburan, saling mengingatkan.

Buku ini tentu saja akan memberikan kesan berbeda untuk setiap pembacanya. Bukan kisah percintaan Borno dan Mei yang aku berikan penekanan (mungkin karena masaku sudah lewat alias berumur :P), tapi betapa aku iri akan persahabatan, kekeluargaan, dan kasih sayang dari orang-orang disekitar Borno. Betapa Borno beruntung memiliki Ibu, Pak Tua, Cik Tulani, Koh Acong, Andi dan orang-orang yang perduli padanya. Pak Tua, lelaki bijak, sungguh, Borno beruntung punya seorang yang perduli seperti Pak Tua. 

Jadi, kemungkinan besar setelah Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah ini, aku akan meminjam buku Tere Liye yang lain kepada Kepala Seksiku. Tentunya selain Pukat, Burlian, Eliana dan Rembulan Tenggelam di Wajahmu yang sudah aku baca dan aku punya bukunya :D

Kecanduan Bersepeda



Suamiku terbiasa mengajak jalan-jalan pagi anak-anak dengan menggunakan motor. Menikmati udara segar pagi sekaligus memberi aku waktu bersiap ke kantor. Ferris dan Falisha cukup “kenyang” menikmati kebiasaan itu. Lain halnya dengan Faza, karena suamiku keburu mutasi ke Banjarmasin. Jadilah, Faza anak rumahan. Sangat jarang diajak keluar. Paling-paling saat Papanya ada di rumah. 

Reaksi Faza saat bisa keluar rumah itulah yang memotivasiku untuk memberikan kenikmatan jalan-jalan. Faza selalu terlihat antusias, matanya berbinar, dan bersemangat saat diajak jalan-jalan. Karenanya aku bertekad, ingin meluangkan waktu pagi, walaupun hanya sebentar, untuk mengajak Faza bersepeda. Ini kulakukan sesering mungkin. Walaupun hanya sepuluh menit, bersepeda sampai pinggir jalan tol JOR, dan kembali ke rumah. Kadang saat akhir pekan dan cuaca memungkinkan, Faza dan Falisha bisa kubonceng sepeda dua sampai tiga kali keliling komplek Ranco. Bagiku, momen itu menjadi momen yang berharga. Aku bahagia melihat dan merasakan kebahagiaan mereka.

Bersepeda memang sangat menyenangkan. Falisha pun sangat menikmatinya. Saat Sabtu, dia lebih memilih diantar emaknya bersepeda ke sekolah. Ferris pun aku usahakan untuk ikut merasakan kesenangan ini. Jadilah, saat Sabtu, aku membonceng Falisha dan Faza, beriringan dengan Ferris ke sekolah Falisha. Sabtu menjadi hari “numpang main” di halaman TK Falisha yang luas. Jadi ingat, sebelum Faza lahir, beberapa kali kami berempat, Papa dengan sepedanya, dan aku membonceng anak-anak (karena mereka maunya sama emaknya) bersepeda keliling Tanjung Barat dengan rute lumayan jauh.

Sepeda pertamaku, teman jalan-jalanku.
Kalau bicara soal kemampuanku bersepeda, itu bisa dibilang hanya seadanya. Saking seadanya, aku lebih memilih berhenti dulu saat berpapasan dengan mobil di jalan sempit dan tidak berani menyalib kendaraan apapun di depanku :D Jatuh dari sepeda? Pernah beberapa kali. Saat membonceng Ferris dan Falisha pernah, jatuh bertiga, walaupun aku usahakan untuk menahan sepedanya agar anak-anak aman. Dan, alhamdulillah anak-anak tidak trauma memboncengku. Dengan Falisha juga pernah. Karena saking minimnya ketrampilanku bersepeda, tanpa sengaja aku menyenggol portal jalan. Jatuhlah kami :D Aku sudah khawatir Falisha bakal trauma, tapi ternyata tidak. Tanganku pun pernah lecet agak parah karena menyerempet tembok kasar di gang kecil. 

Ahad kemarin, aku menantang kemampuan diri dalam bersepeda. Stok madu di rumah hampir habis, dan aku berniat membelinya di toko herbal di pinggir jalan TB. Simatupang. Artinya aku harus ke jalan besar dan melawan arus untuk sampai ke toko itu. Rencanaku, jika aku nyaliku ciut, akan kutuntun saja sepeda itu saat di jalan besar :D Maka berangkatlah aku membonceng Faza. Sambil dag dig dug di jalan besar, aku ternyata masih bisa mengayuh sepeda. Tetap dengan ekstra hati-hati. Dan ternyata aku bisa melaluinya, kembali dengan selamat. Kurayakan kemenanganku dengan menantang diri lagi bersepeda lebih jauh keliling Muara. Dan aku berhasil tetap mengayuh di jalanan menanjak. Sorenya kuajak anak-anak bersepeda lagi, dan kejutannya, aku kuat mengayuh di jalanan menanjak tadi dengan memboceng Faza dan Falisha, sedangnya Ferris menyerah menuntun sepedanya. Yay! Betapa kebahagiaan bisa datang dari hal-hal kecil :)

Jumat, 18 Januari 2013

Beruntung ditengah ketidakberuntungan



Dari Senin kemarin, isu terpopuler di Jakarta adalah masalah banjir. Dari tahun 1998 aku mulai tinggal di Jakarta (sempat terpotong tahun awal tahun 2005 sampai dengan pertengahan 2006 di Bandar Lampung), seingatku, ada tiga peristiwa banjir besar yang menghebohkan di Jakarta. Awal tahun 2002, saat itu aku tinggal di Utan Kayu. Ngekost dekat kantor menyebabkanku tidak terlalu merasa efek dari banjir yang melumpuhkan sebagian besar wilayah Jakarta. Saat itu yang aku ingat, kuliah malamku sempat diliburkan, warteg banyak yang tutup, mie instan langka di pasaran. Anak kost benar....

Februari 2007, tinggal di Duren Tiga, saat itu Warung Buncit terendam banjir. Duren Tiga yang berada di dataran lebih tinggi masih aman. Ingat benar, saat yang lain heboh karena banjir, kita heboh memikirkan bagaimana bisa ke Gambir karena sudah membeli tiket untuk pulang ke Juwana. Dan alhamdulillahnya, masih ada taksi yang bisa mengantar dan tau jalan-jalan yang aman menuju Gambir. Jadilah, saat Jakarta banjir tahun 2007 itu, kami memantaunya di Juwana.

Dan setelah itu, bukan, bukan karena tahun selanjutnya Jakarta bebas banjir, tetap banjir juga, tapi tidak seheboh sekarang ini. Tahun sebelum-sebelumnya, tinggal di Tanjung Barat dan berkantor di Cawang, efek banjir yang dirasakan tentu saja buat pekerja seperti aku, adalah tambah sengsaranya perjalanan dari rumah ke kantor dan sebaliknya. Dan, tahun 2013 ini, efek itu lebih terasa lagi. Setelah dimutasi ke Matraman, jarak dari rumah ke kantor menjadi lebih jauh. Perjuangan diperjalananpun bertambah. Apalagi karena harus melewati jalur yang terkena banjir parah yaitu kawasan Kampung Melayu dan sekitarnya.

Rabu lalu, sepanjang perjalanan pagi dari rumah ke sekolah Ferris, lanjut ke kantor, diboncengan adekku, berteman dengan kekhawatiran terlambat absen. Macet sudah dimulai dari belok ke Jalan Kampung Tengah, arah ke sekolah Ferris. Dan terus berlanjut sampai ke Jalan Jatinegara Timur yang ternyata arus lalu lintasnya dialihkan melalui jalan depan Pasar Mester (menjadi dua arah dari yang biasanya searah). Aku pikir macet karena hujan dan genangan air saja. Sampai menjelang putaran Jalan Jatinegara Barat, aku menengok, ternyata sepanjang jalanan belakang Pasar Mester telah menjadi tempat pengungsian. Itu alasan mengapa jalanan ditutup, disamping karena Kampung Melayu dan sekitarnya terendam banjir.

Dan, selama tiga hari ini, setiap aku menengok ke Jalan Jatinegara Barat, aku merinding. Merasa malu dan trenyuh. Malu karena aku hanya mengkhawatirkan terlambat absen. Trenyuh dan pilu membayangkan bagaimana rasanya kebanjiran. Selemparan batu dari kantor pun, banyak pengungsi di masjid. Bukit Duri juga terendam.

Merasakan, rumah aman dari banjir, kantor tidak terendam, masih bisa berangkat dan pulang kerja dengan waktu tempuh yang masih logis ditengah kehebohan kemacetan dan lumpuhnya sarana transportasi di sebagian wilayah Jakata dan banyak hal baik lainnya, betapa aku beruntung ditengah ketidakberuntungan. Semoga aku masuk golongan orang-orang yang bersyukur. Aamiin....

Kamis, 17 Januari 2013

Krisis semangat ber-marmet



Faza hampir 19 bulan, dan semangat ber-marmetku makin berkurang. Akibatnya ASIP yang aku bawa pulang juga semakin menurun.

Yup, karena supply ASI itu tergantung pada demandnya. Semakin rutin dan sering diperah, inshaAllah ASI yang dihasilkan akan semakin banyak. Yakin! Dan penurunan ASIP-ku pun berawal dari berkurangnya jadwal marmet. Awalnya dulu karena aku harus ber-SPN, dinas keluar kantor hampir setiap hari. Otomatis jadwal marmet menjadi berantakan. Saat awal ber-marmet, pulang kantor aku bisa membawa minimal 500 ml ASIP, hasil dari 3 kali jadwal marmet. Pagi antara pukul 08.00-09.00 bisa mendapat 200an ml, siang antara pukul 13.00-14.00 mendapat 200an ml, dan sore antara pukul 16.00-17.00 mendapat 100an ml. Itu masih ditambah sekali marmet saat pagi sebelum berangkat ke kantor, walaupun tidak sampai 100 ml. Itu bertahan sampai Faza 11 bulan. Setelah itu jadwalku mulai berantakan...

Sekarang, Faza menjelang 19 bulan, jadwal marmetku hanya dua kali. Pagi sebelum berangkat dan sekali di kantor sebelum pulang kerja. Yang aku bawa pulang sekarang tidak sampai 200an ml. Walaupun disisi lain aku bersyukur, Faza masih menikmati ASIP lebih lama dari Ferris dan Falisha. Tekad utama yang membuatku tetap teguh bermarmet, karena sebisa mungkin tidak ingin memberikan susu sapi dalam bentuk apapun, sebagai pengganti ASIP. Faza beberapa kali, masih bisa dihitung dengan jari, pernah minum susu UHT. Tapiiiii, aku bertekad, itu cukup sekali-kali saja. Bukan sebagai pengganti ASIP seperti saat Ferris dan Falisha dulu. 

Jadi, walaupun hanya membawa dua botol ASIP yang biasanya langsung dihabis besoknya, tetep harus semangat. Semangat, minimal sampai Faza dua tahun. Semangat! Aza fighting! Lima bulan lagi....

Rabu, 16 Januari 2013

Matikan TVmu!



Dulu, saat seorang ibu bilang di rumahnya tidak disediakan tv demi kebaikan anak-anaknya, aku berpikir, mungkin gitu hidup tanpa tv? 

Keluarga kami, masih memiliki tv. Masih menonton tv. Tapi alhamdulillah, sudah lewat tiga Ramadhan, diterapkan kesepakatan bahwa setelah adzan maghrib, tv dimatikan. Walaupun, kadang ada waktu pengecualian, seperti saat ada momen acara olahraga “penting” bagi suami dan adikku. Program yang ditonton pun diseleksi.

Alasan kesepakatan mematikan tv setelah maghrib awalnya adalah karena anak-anak sulit diajak tarawih ke masjid karena keasyikan menonton. Setelah Ramadhan berakhir, kesepakatan itu terus dijalankan. Bagi aku yang berangkat kerja pukul 06.30 dan kembali pukul 18.30, waktu setelah maghrib dan sebelum tidur itu menjadi moment penting kebersaaman. Kita bisa mengobrol, saling bercerita, anak-anak bisa bermain bersama. Dan setelah Ferris masuk SD, terasa sekali manfaatnya. Sekarang, walaupun masih belum rutin sempurna, setelah maghrib diisi dengan tahsin tahfiz untuk Ferris dan Falisha. 

Baru sadar bahwa tv itu candu. Ingat betul, saat awal kesepakatan mematikan tv dibuat, terasa beratnya. Kami yang dewasa saja merasa berat, apalagi anak-anak. Sekarang, jika anak-anak sudah tidur dan aku iseng menyalakan tv, hanya gonta-ganti saluran tanpa tertarik satu acarapun. Paling saat ada film yang menarik. Itupun jarang sekali, mending untuk tidur :D

Seorang teman bertanya, apa yang bisa anak-anak lakukan kalau tidak menonton tv? Jawabanku, ternyata sangat banyak. Hidup makin berharga saat tv dimatikan. Percayalah! :D Berharap, bisa lepas penuh terhadap tv. Semoga, suatu saat nanti. Aamiin...