Rabu, 28 November 2012

Antara Resign dan Tetap Ngantor.



Sejak lahir anak kedua, ada saatnya ketika keinginan untuk resign begitu menggebu, sehingga kadang menimbulkan frustasi. Pernah bermimpi, untuk cuti di luar tanggungan negara, mengikuti suami, berhomeschooling, merintis usaha dari rumah, dan kalau ternyata lebih nyaman, resign. Tapi baru sekedar bermimpi. 

Keinginan untuk resign semakin memuncak saat lahir anak ketiga dan aku dimutasi dengan memulai pekerjaan baru yang tanggung jawabnya lebih berat dan jarak kantor yang lebih jauh dari rumah. Rasa frustasi itu semakin terasa. Sehingga (makin) menimbulkan ketidaknyamanan saat di kantor. Frustasi karena ingin resign, tapi banyak hal yang perlu dipertimbangkan. Tidak sesederhana yang aku harapkan.

Sampai disuatu titik, ketika aku merasa frustasiku membawa ketidakbahagiaan. Saat itu aku curhat kepada seorang sahabat, dan dia menyarankan untuk Istikharah. Dan aku mengikuti sarannya.

Dalam doa Istikharah, aku meminta untuk diberikan kemudahan jalan jika keinginan resign ini memang jadi jalan terbaikku, dan diberi kelapangan jiwa, dimudahkan menerima, jika ngantor masih menjadi jalan terbaik untukku. Doa Istikharah ini aku panjatkan disetiap sholat sunahku. 

Alhamdulillah. Aku merasa Alloh mengabulkan doaku. Aku memutuskan untuk tetap ngantor. Aku merasa aku mendapat kelapangan hati dengan keputusanku. Aku merasa pasrah dengan semuanya. Aku merasa lapang menerima konsekuensi dari pekerjaanku. Pola pikirku berubah. Dari yang sempat stress karena aku merasa tidak cocok dan keberatan dengan tanggung jawab pekerjaanku, menjadi pasrah menjalaninya. Pasrah dengan konsekuensi, tuntutan, mungkin omelan, pertanggung jawaban, mungkin kecewa, mungkin ketidakadilan, dan hal-hal lain yang sebelumnya menakutkan dan mengkhawatirkanku. Aku berpikir bahwa, aku memang dibayar, digaji untuk itu. Dan aku harus menerima sepenuhnya selama aku memilih jalan ini. Pasti ini adalah pilihan terbaik untuk saat ini.

Selasa, 27 November 2012

Mooncup, sahabat masa menstruasiku.



Sudah mencoba beberapa merek pembalut, tetap saja masalah iritasi saat menstruasi tidak teratasi. Dari merek biasa sampai yang herbal, tetap saja hasilnya sama. Lalu aku berkenalan dengan washable menspad, akhirnya aku bisa bernafas lega. Bahannya yang lembut dan dari kain, membuat masa menstruasi berlalu lebih nyaman. Menspadku pertama kali berguna saat masa nifas setelah melahirkan Faza dan kemudian sempat nganggur delapan bulan.

Kelebihan menspad, lebih nyaman dipakai karena lembut di kulit, dan ramah lingkungan. Kelemahan dari menspad menurutku, lebih ribed saat membersihkannya, repot saat kita seharian beraktifitas di luar rumah, butuh lebih banyak saat musim hujan karena memerlukan waktu lebih lama untuk kering dan mengkhawatirkan saat kehujanan :D Tapi aku lebih memilihnya jika dibandingkan dengan pembalut sekali pakai.

Kemudian aku berkenalan dengan Mooncup, si cawan menstruasi. Pertama mendengar namanya, aku merasa “seram”. Cawan menstruasi? WOW. Lalu kemudian seorang teman di fb mengenalkan lebih jauh. Dan akupun mencari tahu lebih banyak lagi. Masih dengan kata “seram” menempel di pikiranku, aku mencoba memesannya sambil berpikir, “Berani pake ga yaaaa?” :D

Dan datanglah si Mooncup ini di bulan Juni. Saat pertama kali melihat penampakan Mooncup secara langsung, memang ada kengerian tersendiri. Perlu meyakinkan diri, perlu rileks dan percaya, dan saya berhasil menikmatinya. Pertama memakainya, karena belum terbiasa, aku merasa ada yang aneh :D Butuh lima hari untuk membiasakan diri. Saat dua hari terakhir masa menstruasi, aku mulai tidak merasa aneh lagi. Dan bulan-bulan selanjutnya, menggunakan mooncup terasa “ga pake” sama sekali. Nyaman, serasa tidak sedang menstruasi, mudah membersihkannya, dan tidak meninggalkan residu sama sekali. Walaupun mungkin bagi yang takut melihat darah, Mooncup bukan pilihan tepat :D

Menurutku, Mooncup pilihan tepat karena:

  • Aman dipakai, karena terbuat dari bahan silicon yang bebas BPA dan tidak menimbulkan efek samping, 
  • Hemat. Walau infestasi awalnya agak mahal (360 ribuan) tetapi cukup punya satu dan dengan perawatan tepat bisa dipakai sampai 10 tahun (menurut websitenya), 
  • Ramah lingkungan (tidak meninggalkan residu), 
  •  Tidak khawatir tembus, biarpun saat kita kehujanan J, asal tidak lupa mengosongkannya dalam jangka waktu 4-8 jam, tergantung volume menstruasi kita, 
  • Berasa tidak sedang menstruasi saking nyamannya, bahkan untuk aktifitas seperti bersepeda, lari, jalan jauh, tidak terasa, 
  • Sejak memakai Mooncup, saya tidak mengalami dismenorhea lagi, entah karena ber-raw juice atau karena pemakaian Mooncup ini,P
  • Praktis, apalagi saat bepergian. Kita tidak perlu membawa persediaan menspad.  
Buatku, Mooncup adalah salah satu barang yang aku beli dengan harga mahal tapi tidak menimbulkan penyesalan :D 

Penampakan Mooncup-ku.

Minggu, 25 November 2012

Aku (tidak sedang) galau.



“Ga pernah ke dokter kulit ya? Ga pernah perawatan? Ga pengen kulitnya lebih cerah? Perlu kawat gigi juga tuh!”.

Jleb! Pertanyaan dan pernyataan itu mampir ditelingaku. Ketika aku telah bisa menerima diriku apa adanya, tetap saja karena aku seorang perempuan, kalimat-kalimat itu mengusik perasaanku. Yup, perasaanku.

Ya, aku pernah mengalami masa minder yang ternyata menutup dan menghancurkan potensiku yang lain. Aku minder dengan keadaan fisikku, aku minder atas penampilan luarku, aku minder karena keadaan keluargaku, dan aku minder tentang banyak hal, yang kini aku rasa tidak penting dan tidak perlu. Saat itu, masa penuh keminderan itu, membuatku tidak bisa melihat, merasakan, menikmati dan mensyukuri begitu banyak kenikmatan yang telah Alloh limpahkan kepadaku.

Berlahan, seiring berkurangnya jatah usia, aku mulai menyadari bahwa minder yang aku rasakan itu, telah merusak jiwaku dengan pasti. Berlahan, aku mulai belajar untuk menerima diriku apa adanya. Kalau ingin orang lain melihat dan menerima kita apa adanya, harus dari diri kita sendiri dulu lah yang menerima dan mencintai segala kekurangan dan kelebihan kita, tentunya dengan cara yang sehat.

Sebagai perempuan, pastilah aku ingin terlihat menarik. Tetapi, sejak aku mengikatkan diri pada seorang lelaki yang menerimaku apa adanya, maka hak dialah, di depan dialah, saat dimana aku harus tampil menarik. Bukan di depan mata laki-laki lain.

Sebelumnya, aku sempat berusaha untuk mempercerah kulit, menggunakan krim dari dokter kulit, dan memang ada hasilnya. Tapiiii, setelah aku mulai mengetahui bahaya jangka pendek dan jangka panjang dari apa yang terkandung dalam krim-krim kecantikan itu, aku tidak lagi rela mengoleskannya pada kulitku. Lagi pula, aku juga tidak merasa ada yang salah dengan kulitku. Gelap? Tentunya, karena aku asli orang Indonesia, orang tua yang Jawa tulenpun berkulit gelap. Aku tidak bermasalah dengan jerawat. Untuk kulitku yang cenderung kering, aku merasa cukup melembabkannya dengan mengoleskan minyak zaitun. Kawat gigi? “Salah gaul,” itu komentar lelakiku saat aku pernah mengemukakan ide tersebut.

Aku tidak menyalahkan perempuan-perempuan yang ingin tampil lebih cantik dan menarik dengan melakukan banyak hal. Itu hak masing-masing individu. Tapi, boleh dong aku berpikir beda ^_^

Ya, aku tidak merasa ada yang salah dengan penampilan fisikku. Kalaupun aku ingin memperbaikinya, itu dengan mengkonsumsi makanan yang lebih sehat. Ayolah, jangan terlalu terpaku mempercantik penampilan luar sehingga lupa dengan inner beauty dan kesehatan organ dalam kita.  Jangan sampai kita terlihat lebih muda dari luar tapi ternyata organ dalam tubuh kita seperti orang yang berusia lebih. Ayo mulai perduli dengan komposisi bahan kimia sintetis yang terkandung pada kosmetik yang kita oleskan ke kulit kita.

Akhirnya, aku ingin katakan, untuk sementara ini aku tidak merasa punya masalah dengan kulit dan penampilan fisik. Terimakasih sudah perduli terhadapku, teman ^_^

Rabu, 21 November 2012

Aku jualan kain batik Bakaran, unik dan apik.



Dulu, awal-awal instansi tempat bekerja mewajibkan memakai baju batik setiap Jumat, banyak pegawai (termasuk aku) yang berpikir, “Males banget ga sih, pake batik kayak mau kondangan aja”. Saat itu motif, jenis dan model baju batik yang banyak tersedia di pasaran masih yang itu-itu saja. Karena ingin punya batik yang beda dan unik itulah, aku mulai tertarik untuk mencari batik-batik khas daerah-daerah di Indonesia, yang belum terkenal. Fokusku, batik dari tempat yang bisa aku jangkau, jadi mulailah aku berburu batik sekitar Bumiayu, Pati dan Bantul.

Dari pencarian lewat internet, aku menemukan bahwa ternyata di Juwana, tempat keluarga suamiku tinggal, ada daerah pembatik yang memproduksi batik khas, yang disebut batik Bakaran. Bakaran adalah nama desa di kecamatan Juwana, kabupaten Pati. Tepatnya desa Bakaran Wetan dan Bakaran Kulon. Setelah menemukan tempat pembatiknya, timbulan insting berdagangku. Melihat kain batik dengan motif dan warna yang unik, yang belum banyak orang memakainya, menimbulkan kesenangan tersendiri. Jadilah aku membeli beberapa kain, dan aku pasarkan di kantor. Dan alhamdulillah, banyak teman yang menyukainya. Perasaan saat dagangan kita laku terjual itu, membuatku lebih bersemangat untuk mencari batik unik lainnya. Tapiii, tarik napas panjang dan hembuskan, sabarrrr.... :D

Ini proses pembuatan batik tulis Bakaran,
Ibu-ibu pembatik di Desa Bakaran Wetan dan Bakaran Kulon



















Beberapa contoh motif dan warnanya, apik dan cantik. Coraknya khas batik pesisir.





















Tertarik dan ingin melihat lebih jauh? Detail gambarnya ada di album fb saya .