Selasa, 21 Mei 2013

Lelah



Bertalu-talu dalam kepalaku
aku ingin menepi
memeluk sepi
berselimut mimpi

Ingin sejenak berhenti mengayuh
menambatkan sampan untuk berlabuh
biarlah sejenak waktu membeku
saat mata redup sendu

Rindu untuk pulang
kembali mengisi ruang
dan air mata basahi malam panjang

Tanjung Barat, 21 Mei 2013

Kamis, 28 Maret 2013

Kalau emak belajar bahasa Inggris



Entah memang bawaan lahir atau salah pengenalan cara belajarnya, aku benar-benar lemah dalam belajar bahasa Inggris. Nilai pelajaran bahasa Inggris, selalu diambang bawah batas aman. Ingat betul, saat syarat mendaftar D1/D3 Prodip Keuangan aka STAN di tahun 1998, nilai Bahasa Inggris di NEM minimal 6,5 dan beruntungnya aku nilai NEM Bahasa Inggrisku ya segitu itu :D Minimal aku masuk syarat mendaftar.
 
Atau saat syarat lulus UPKP (Ujian Penyesuaian Kenaikan Pangkat), Bahasa Inggris harus minimal 56, nilaiku 58 :P Aku jadi menyimpulkan, kelulusanku itu lebih pada faktor keberuntungan saja. Faktor rejeki dan nasib. Pastinya berkat doa orang-orang yang menyayangi dengan tulus (^_^)
 
Dulu, aku benar-benar dibuat mengira, menebak, dan pake perasaan saja saat mengerjakan soal bahasa Inggris. Kosakata bahasa Inggrisku parah. Apalagi gramar dll, aku ga ngeh blass.
 
Sekarang, sudah mendingan. Mendingan dalam arti, aku sudah bisa lebih ngerti saat membaca kalimat berbahasa Inggris, tapi tidak saat mengucapkannya :D Awalnya, gara-gara aku kepengen baca komik/manga Candy Candy. Komik yang antrian peminjamnya panjang saat aku kelas 1 SMP dulu (yang punya, tentu saja temanku,  bukan aku :D) Nah, nemulah download-an manga-nya di internet. Dalam bahasa Inggris tentunya. Saat membacaanya, aku perlu buka kamus terus. Tamat Candy Candy, aku mulai berani menjelajah manga lain, selalu dengan buka tutup kamus. Kemudian berlanjut ke serial dan film Korea, bersubtitle bahasa Inggris. Tetap buka tutup kamus. Untuk kata-kata yang aku tidak mengerti artinya, tinggal pause dulu filmnya, buka kamus, trus lanjut. Ternyata lumayan efektif juga untuk menambah kosakata. Menonton film berbahasa Inggris dengan subtitle bahasa Inggris juga sangat membantu menambah kemampuan. Tapi sayangnya aku tetap belum pede jika harus merangkai kalimat sendiri. Hihihihi...
 
Menurutku, walaupun tidak berbakat di bidang bahasa, mungkin jika diperkenalkan, dan menemukan cara belajar yang pas dan menyenangkan, kemampuan berbahasa asing akan lebih cepat berkembang dibanding belajar dengan buku teks yang lumayan membosankan. Pastinya lebih cepat lagi jika kita tinggal di lingkungan yang mewajibkan kita memakai bahasa itu. Bisa karena terpaksa. Bisa karena suka. Bisa karena butuh. Aku, masuk yang mana ya? :D


Senin, 04 Maret 2013

Salah tempat curhat

Pernah mengalami, sedang butuh sangat curhat, sudah sampai berurai air mata, tapi ternyata tanggapan tempat curhat malah bikin makin down? Aku pernah. Iya sih, benernya curhat itu pada Allah. Pasti tidak akan mengecewakan. Tapi, kadang aku butuh juga seorang yang siap mendengar, jika bisa plus menghibur dan menenangkan.

Dari pengalaman butuhnya tempat curhat, berkacalah aku. Saat curhat itu, yang dibutuhkan adalah seseorang yang cukup mau mendengar, bisa menahan untuk tidak menyela, dan berusaha untuk menghibur dengan kata-kata yang menyemangati. Bisa meyakinkan kalau kita itu mampu menghadapi dan melalui semua cobaan. Intinya, dibutuhkan empati. 

Tapi, saat kita butuh curhat pun, harus dilihat dan diketahui dulu, tepat ga orang tersebut. Jangan sampai salah tempat curhat. Misalnya, curhat masalah anak ke temen yang sudah lama menantikan kehadiran anak dan belum dapat juga. Atau curhat masalah keluarga ke teman yang belum menikah. Sepertinya kok ya kurang berperasaaan gitu kitanya ^_^

Tidak juga, curhat ke lawan jenis. Senyaman dan sebaik apapun dia dalam menanggapi curhat kita. Karena bisa jadi, curhat-curhatan kita menjadi awal fitnah yang lebih besar. Mending mencegah daripada terlanjur jadi kan? :D

Beberapa waktu yang lalu, di dinding fb seorang beberapa teman terpampang hadist berikut:
Tidaklah menimpa seorang mukmin berupa rasa sakit (yang terus menerus), rasa capek, kekhawatiran (pada pikiran), sedih (karena sesuatu yang hilang), kesusahan hati atau sesuatu yang menyakiti sampai pun duri yang menusuknya melainkan akan dihapuskan dosa-dosanya.” (HR. Bukhari no. 5641 dan Muslim no. 2573)”
Dan aku juga menerima sms dari PKPU, hadist mirip dengan yang di atas:
“Tiada sesuatu pun yang menimpa diri seorang mukmin, baik berupa keletihan, rasa sakit, kecemasan, kesedihan, gangguan, maupun kesusahan, bahkan sampai tertusuk duri sekalipun, melainkan Allah akan menghapus dosanya berkat musibah yang menimpanya itu.” (HR. Muslim)

Saat aku membaca hadist tersebut, rasanya seperti air dingin mengguyur hati yang sedang panas oleh kesedihan dan kesusahan. Karenanya, aku ingin membagi kepadamu teman-teman, yang sedang bersedih dan bersusah hati, mari lapangkan hati dan lenturkan perasaan. Karena Allah tidak akan memberikan cobaan melebihi kemampuan kita. Dia yang Maha Tahu, mendekatlah kepada-Nya. Karena semua akan berlalu dan kita mampu menjalaninya. Karena setidaknya, dosa-dosa kita terhapus oleh musibah yang kita alami.

*edisimenyemangatidiri*


Senin, 18 Februari 2013

Belum tergerak juga



Sedang disemangati sahabat-sahabatku untuk belajar nyetir. Diberikan seribu alasan, tapi aku masih belum tergerak juga. Ingin belajar bermotor juga susah, karena ga punya motor. Yo wis lah, melancarkan ketrampilan bersepeda saja. Sekalian go green gitu :D *alasanmodeon

Dulu, sempat juga terpikir untuk belajar nyetir dan mengendarai motor. Kalau motor, pernah bisa, hanya belum lancar. Aku punya alasan kuat untuk bisa menyetir. Alasan paling kuat adalah suami jauh dari rumah. Harusnya memacu aku untuk lebih mandiri, termasuk dalam hal berkendara. Tapi, keburu ilfeel membayangkan parkiran di rumah. Rumah kami terletak di gang sempit muat satu mobil, dan parkiran kami cukup ngepas walaupun tidak mustahil. Jika jalanan basah karena hujan terlebih lagi, kesulitan memarkir makin meningkat. Suamiku tentu saja sudah terbiasa, sudah jago, karena terkondisi. 

Aku tetap belum tergerak. Berangkat kerja, aku sangat tertolong karena masih bisa menebeng, membonceng dengan manis, di motor adekku. Dari rumah, ke sekolah Ferris, baru lanjut ke kantorku. Kebetulan kantorku searah dengan kantor adekku. Pulang, aku punya beberapa alternatif. Yang pertama, berkereta (dari kantor naik bajaj/ojek, lanjut kereta, lanjut angkot trus ngojek). Cukup 30 sampai 45 menit, sampai ke rumah. Atau aku nebeng di mobil teman kantor. Turun di rest area TMII lanjut angkot dua kali, lanjut ngojek. Normalnya membutuhkan waktu 90 menit. Jadi, untuk apa aku bersusah payah membaca motor atau mobil sendiri? (^_^)

Ya, memang, kondisi tidak selalu senyaman yang aku harapkan. Seperti sepekan ini dan sepekan kedepan. Adekku diklat di Bogor. Kondisi pagiku tentu harus disesuaikan. Aku dengan berat hati terpaksa menitipkan Ferris ke tetangga sebelah. (Maturnuwun ya, Mbak Lina sekeluarga, sudah direpotkan.). Senin aku berkereta ria. Pas banget lagi trouble, yang seharusnya cukup 15 menit dalam CL, terpaksa menghabiskan hampir 60 menit karena antrian masuk Manggarai lumayan panjang. Tapi pagi ini, alhmadulillah lancar jaya. 

Jadi, mungkin loh ya, aku akan tergerak bermobil atau bermotor sendiri, saat memang tidak ada tempat bergantung. Mungkin nanti saat adikku sudah menikah dan pindah dari rumah kami. Dan semoga saja, saat itu suamiku sudah kembali berkumpul bersama sehingga aku tidak perlu bermotor atau bermobil sendiri. Aamiin. Atau saat kami bisa pindah ke rumah yang parkirannya lebih mendukung. Aamiin. Atau kalau kantorku pindah ke Pasar Rebo atau Pancoran. Aamiin (^_^)

Kalau kata Mbak Winda, “Ya udah belajar dulu aja, nanti pas waktunya diperlukan sudah lancar. “ Oke deh, Mbak Winda. Akan saya pertimbangkan, hahahha.

Terimakasih yang teman-teman, sudah menyemangatiku. Dan teruslah menyemangati tanpa bosan. Dan tularkan juga keberanian kalian (^_^)


Rabu, 13 Februari 2013

Aku sebal pada ibuku



Sepanjang ingatanku, aku memanggilnya Mama. Dari saat tinggal di Bandung sampai kemudian pindah ke Bumiayu, aku memanggilnya dengan sebutan Mama. Untuk ukuran lingkunganku di Bumiayu, aku pernah ditertawakan teman-temanku karena memanggilnya dengan sebutan Mama. Untuk keluarga sangat sederhana macam kami, sebutan Mama dikatakan terlalu berlebihan. Tapi aku dan adik-adikku tetap memanggilnya Mama.

Saat membayangkan Mama, dalam benakku akan menggambarkan sosok wanita lembut, penuh pengabdian terhadap suami, anak-anak dan keluarga besar kami. Walau sering berbeda pendapat dengan Bapak, yang menimbulkan adu argumen, Mama adalah jembatan penghubung antara anak-anaknya, keluarga besar kami, tetangga terhadap Bapak. Awal sebalku pada Mama adalah karena dia menjadi sosok wanita penuh “nerimo” terhadap watak keras Bapakku. Karenanya, aku berjanji pada diriku sendiri, aku tidak ingin menjadi seperti Mama.

Mama adalah sosok tangguh. Menikah di usia muda dan mendapatkan lelaki berwatak keras macam Bapak. Tak terhitung banyaknya air mata dan kesedihan yang telah dialami, tapi tetap, dengan pengabdian “nerimo”-nya. Mama selalu menjadi pilar di keluarga kami. Selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk keluarganya. 

Mama hanya lulusan SMP. Tapi sepanjang ingatan masa kecilku, aku tanpa bersekolah TK, bisa membaca dan menulis oleh ajarannya. Mengenal lagu-lagu anak-anak darinya. Kala Mama masih punya waktu banyak, sebagai pengantar tidur, Mama bercerita kepada kami. Entah cerita fiksi maupun cerita tentang nabi-nabi. Itu sebelum Mama terlalu lelah berdagang untuk membantu perekonomian keluarga kami. Mulai saat aku SMP, masa-masa bisa bercerita dan mengobrol hilang karena kesibukannya. Tentu saja kami tidak bisa protes. Mama sudah cukup lelah saat malam.

Bagiku, Mama itu cantik. Dulu sebelum berjilbab, rambut panjangnya disanggul sedemikian rupa. Berganti model sanggul, sederhana tapi anggun. Kata Mama, rambut panjangnya lah yang membuat tertarik Bapak Tua (Bapak dari Bapakku) untuk menjadikannya menantu ^_^

Aku dan Mama mulai memperbaiki komunikasi kami kembali saat aku sudah hijrah ke Jakarta. Saat pulang, kami menyempatkan diri mengobrol banyak. Momen yang sempat hilang. Beda usiaku yang hanya 18 tahun dengan Mama, menjadikan Mama seperti kakak, sahabatku. 

Kini, sering kali aku dibuat sebal oleh Mama. Bagaimana tidak, setiap aku punya masalah yang aku pendam sendiri, karena jika aku berani menelfonnya, aku pasti menangis, Mama seakan punya indra keenam yang bisa mengendus perasaanku. Aku merasa sudah cukup merepotkannya. Kadang enggan meminta bantuan karena aku tidak ingin membebaninya. Tapi, beliau selalu tahu tanpa ada yang memberi tahunya. Aku sebal. Karena Mama pasti akan meluncur dari Bumiayu ke Jakarta, naik bis dan sampai ke rumah tanpa dijemput di terminal, kadang tanpa pemberitahuan, menelfon saat sampai di depan rumah. Dan Mama, hanya dengan mengingatmu saja, membuatku menangis.
Mama, aku sebal kepadamu. Karena saat aku sedang gundah, bercerita padamu membuatku menangis tanpa bisa menahannya. Karena Mama selalu ada untukku tanpa diminta. Karena doa-doamu selalu terlantun untuk kami. Karena Mama selalu berusaha memberikan yang terbaik yang bisa Mama lakukan untuk kami.

Mama, aku sebal padamu karena aku merasa tidak akan sanggup membalas semua kebaikanmu padaku.  Tapi Mama, aku akan selalu menyayangimu dengan caraku. Semoga Allah selalu menyayangimu dan semakin memberkahi hidupmu. Aamiin....

Senin, 21 Januari 2013

Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah



Kamis, efek banjir melanda Jakarta, listrik di kantor hanya sanggup menyuplai lampu. Itupun nyala padam. Cari-cari kesibukan, maka buku pinjaman dari Kepala Seksiku pun jadi pilihan. Kau, Aku dan Sepucuk Angpao Merah. Buku itu sudah lama nongkrong manis di mejaku. Seperti biasa, aku malas mengawali membacanya. Padahal, seperti biasa pula, kalau aku sudah mengawalinya, aku akan sulit mengakhirinya, tidak setelah tamat dibaca :D

Mengisahkan seorang Borno, bujang berhati paling lurus. Seperti biasa, Tere Liye meramu kehidupan sederhana tapi kaya dengan ajaran nilai-nilai, nasihat, kisah, cinta, persahabatan, tanpa terasa menggurui. Kisah yang romantis tapi tidak picisan. Karena cinta memang tetap harus realistis :)

Membaca buku ini, aku dibuat menangis dan tertawa dalam kubikelku. Banyak kalimat sarat nasihat, dan yang pertama dan paling “klik” adalah salah satu nasihat Pak Tua kepada Borno saat dia berkumbang kesedihan. "Kau lupa, Borno. Kalau hati sedang banyak pikiran, gelisah, kau selalu punya teman dekat. Mereka bisa jadi penghiburan, bukan sebaliknya tambah kauabaikan. Nah, itulah tips terhebatnya. Habiskan masa-masa sulit kau dengan teman terbaik, maka semua akan lebih ringan."

Kalimat itu, langsung mengingatkanku pada keluarga dan sahabat-sahabatku. Pada siapa aku biasa berkeluh, berbagi masalah dan penyelesaiannya, seharusnya juga berbagi kesenangan, atau cukup dengan mendengarkan cerita dan atau memberi kalimat penghiburan, saling mengingatkan.

Buku ini tentu saja akan memberikan kesan berbeda untuk setiap pembacanya. Bukan kisah percintaan Borno dan Mei yang aku berikan penekanan (mungkin karena masaku sudah lewat alias berumur :P), tapi betapa aku iri akan persahabatan, kekeluargaan, dan kasih sayang dari orang-orang disekitar Borno. Betapa Borno beruntung memiliki Ibu, Pak Tua, Cik Tulani, Koh Acong, Andi dan orang-orang yang perduli padanya. Pak Tua, lelaki bijak, sungguh, Borno beruntung punya seorang yang perduli seperti Pak Tua. 

Jadi, kemungkinan besar setelah Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah ini, aku akan meminjam buku Tere Liye yang lain kepada Kepala Seksiku. Tentunya selain Pukat, Burlian, Eliana dan Rembulan Tenggelam di Wajahmu yang sudah aku baca dan aku punya bukunya :D