Jumat, 18 Januari 2013

Beruntung ditengah ketidakberuntungan



Dari Senin kemarin, isu terpopuler di Jakarta adalah masalah banjir. Dari tahun 1998 aku mulai tinggal di Jakarta (sempat terpotong tahun awal tahun 2005 sampai dengan pertengahan 2006 di Bandar Lampung), seingatku, ada tiga peristiwa banjir besar yang menghebohkan di Jakarta. Awal tahun 2002, saat itu aku tinggal di Utan Kayu. Ngekost dekat kantor menyebabkanku tidak terlalu merasa efek dari banjir yang melumpuhkan sebagian besar wilayah Jakarta. Saat itu yang aku ingat, kuliah malamku sempat diliburkan, warteg banyak yang tutup, mie instan langka di pasaran. Anak kost benar....

Februari 2007, tinggal di Duren Tiga, saat itu Warung Buncit terendam banjir. Duren Tiga yang berada di dataran lebih tinggi masih aman. Ingat benar, saat yang lain heboh karena banjir, kita heboh memikirkan bagaimana bisa ke Gambir karena sudah membeli tiket untuk pulang ke Juwana. Dan alhamdulillahnya, masih ada taksi yang bisa mengantar dan tau jalan-jalan yang aman menuju Gambir. Jadilah, saat Jakarta banjir tahun 2007 itu, kami memantaunya di Juwana.

Dan setelah itu, bukan, bukan karena tahun selanjutnya Jakarta bebas banjir, tetap banjir juga, tapi tidak seheboh sekarang ini. Tahun sebelum-sebelumnya, tinggal di Tanjung Barat dan berkantor di Cawang, efek banjir yang dirasakan tentu saja buat pekerja seperti aku, adalah tambah sengsaranya perjalanan dari rumah ke kantor dan sebaliknya. Dan, tahun 2013 ini, efek itu lebih terasa lagi. Setelah dimutasi ke Matraman, jarak dari rumah ke kantor menjadi lebih jauh. Perjuangan diperjalananpun bertambah. Apalagi karena harus melewati jalur yang terkena banjir parah yaitu kawasan Kampung Melayu dan sekitarnya.

Rabu lalu, sepanjang perjalanan pagi dari rumah ke sekolah Ferris, lanjut ke kantor, diboncengan adekku, berteman dengan kekhawatiran terlambat absen. Macet sudah dimulai dari belok ke Jalan Kampung Tengah, arah ke sekolah Ferris. Dan terus berlanjut sampai ke Jalan Jatinegara Timur yang ternyata arus lalu lintasnya dialihkan melalui jalan depan Pasar Mester (menjadi dua arah dari yang biasanya searah). Aku pikir macet karena hujan dan genangan air saja. Sampai menjelang putaran Jalan Jatinegara Barat, aku menengok, ternyata sepanjang jalanan belakang Pasar Mester telah menjadi tempat pengungsian. Itu alasan mengapa jalanan ditutup, disamping karena Kampung Melayu dan sekitarnya terendam banjir.

Dan, selama tiga hari ini, setiap aku menengok ke Jalan Jatinegara Barat, aku merinding. Merasa malu dan trenyuh. Malu karena aku hanya mengkhawatirkan terlambat absen. Trenyuh dan pilu membayangkan bagaimana rasanya kebanjiran. Selemparan batu dari kantor pun, banyak pengungsi di masjid. Bukit Duri juga terendam.

Merasakan, rumah aman dari banjir, kantor tidak terendam, masih bisa berangkat dan pulang kerja dengan waktu tempuh yang masih logis ditengah kehebohan kemacetan dan lumpuhnya sarana transportasi di sebagian wilayah Jakata dan banyak hal baik lainnya, betapa aku beruntung ditengah ketidakberuntungan. Semoga aku masuk golongan orang-orang yang bersyukur. Aamiin....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar