Dari Senin kemarin, isu terpopuler
di Jakarta adalah masalah banjir. Dari tahun 1998 aku mulai tinggal di Jakarta
(sempat terpotong tahun awal tahun 2005 sampai dengan pertengahan 2006 di
Bandar Lampung), seingatku, ada tiga peristiwa banjir besar yang menghebohkan
di Jakarta. Awal tahun 2002, saat itu aku tinggal di Utan Kayu. Ngekost dekat
kantor menyebabkanku tidak terlalu merasa efek dari banjir yang melumpuhkan
sebagian besar wilayah Jakarta. Saat itu yang aku ingat, kuliah malamku sempat
diliburkan, warteg banyak yang tutup, mie instan langka di pasaran. Anak kost
benar....
Februari 2007, tinggal di Duren
Tiga, saat itu Warung Buncit terendam banjir. Duren Tiga yang berada di dataran
lebih tinggi masih aman. Ingat benar, saat yang lain heboh karena banjir, kita
heboh memikirkan bagaimana bisa ke Gambir karena sudah membeli tiket untuk
pulang ke Juwana. Dan alhamdulillahnya, masih ada taksi yang bisa mengantar dan
tau jalan-jalan yang aman menuju Gambir. Jadilah, saat Jakarta banjir tahun
2007 itu, kami memantaunya di Juwana.
Dan setelah itu, bukan, bukan
karena tahun selanjutnya Jakarta bebas banjir, tetap banjir juga, tapi tidak
seheboh sekarang ini. Tahun sebelum-sebelumnya, tinggal di Tanjung Barat dan
berkantor di Cawang, efek banjir yang dirasakan tentu saja buat pekerja seperti
aku, adalah tambah sengsaranya perjalanan dari rumah ke kantor dan sebaliknya.
Dan, tahun 2013 ini, efek itu lebih terasa lagi. Setelah dimutasi ke Matraman,
jarak dari rumah ke kantor menjadi lebih jauh. Perjuangan diperjalananpun
bertambah. Apalagi karena harus melewati jalur yang terkena banjir parah yaitu
kawasan Kampung Melayu dan sekitarnya.
Rabu lalu, sepanjang perjalanan
pagi dari rumah ke sekolah Ferris, lanjut ke kantor, diboncengan adekku,
berteman dengan kekhawatiran terlambat absen. Macet sudah dimulai dari belok ke
Jalan Kampung Tengah, arah ke sekolah Ferris. Dan terus berlanjut sampai ke
Jalan Jatinegara Timur yang ternyata arus lalu lintasnya dialihkan melalui
jalan depan Pasar Mester (menjadi dua arah dari yang biasanya searah). Aku
pikir macet karena hujan dan genangan air saja. Sampai menjelang putaran Jalan
Jatinegara Barat, aku menengok, ternyata sepanjang jalanan belakang Pasar
Mester telah menjadi tempat pengungsian. Itu alasan mengapa jalanan ditutup,
disamping karena Kampung Melayu dan sekitarnya terendam banjir.
Dan, selama tiga hari ini, setiap
aku menengok ke Jalan Jatinegara Barat, aku merinding. Merasa malu dan trenyuh.
Malu karena aku hanya mengkhawatirkan terlambat absen. Trenyuh dan pilu
membayangkan bagaimana rasanya kebanjiran. Selemparan batu dari kantor pun,
banyak pengungsi di masjid. Bukit Duri juga terendam.
Merasakan, rumah aman dari banjir,
kantor tidak terendam, masih bisa berangkat dan pulang kerja dengan waktu
tempuh yang masih logis ditengah kehebohan kemacetan dan lumpuhnya sarana
transportasi di sebagian wilayah Jakata dan banyak hal baik lainnya, betapa aku
beruntung ditengah ketidakberuntungan. Semoga aku masuk golongan orang-orang
yang bersyukur. Aamiin....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar