Selasa, 07 Agustus 2012

Antara aku, suami dan motor.


Men-copi dari blog lama. Obat kangen bonceng suami tercinta. Ramadhan empat tahun yang lalu. Kapan bisa berangkat dan pulang kerja bareng lagi ya? Semoga segera, amiin ya Allah... 

Untuk menembus kemacetan di Jakarta, sarana yang paling efektif tentunya adalah dengan motor. Bisa menyusup diantara kemacetan, bisa naik ke trotoar kalo terpaksa, atau mencari jalan alternatif diantara gang-gang kecil. Itu seninya pengendara motor terutama di Jakarta.

Selama ini, aku sangat tergantung dan terbantu dengan motor. Sayangnya masih sebagai penumpang. Sebenernya sih, pengen banget bisa jadi pengemudi. Tapi kok nyalinya belum kuat yah, hehehe. Ngiri banget kalo di jalanan liat cewek berani mengendarai motor, salut deh. Kalo kata temen sekantorku sih, cukup dengan "Takut jatuh dan berani jatuh saja". "Takut jatuh" artinya kita berusaha untuk selamat di jalan raya, sedangkan "Berani jatuh" berarti kita tau resiko berkendara motor dan kita siap menerimanya. Kalo melihat dua syarat itu, memang faktor nyali dan pede-ku belum memadai (^_^)

Kalo dulu, ketidakpedeanku didukung oleh suami. Sepertinya dia meragukan kemampuanku. Apalagi aku juga sering denger komentar kebanyakan laki-laki, yang sering melontarkan kata-kata sinis saat di jalan raya, "Wah, pasti yang bawa mobil itu cewek deh, ga punya aturan. Kayak jalanan milik sendiri", atau "Gayanya cewek banget saat bawa motor, ga punya perhitungan dan rasa takut". Tambah deh, nyaliku susut. Tapi akhir-akhir ini, kalo aku bilang pengen naik motor sendiri, suamiku malah komentar, "Asal hati-hati, trus ngikutin arus aja, insyaallah selamat kok. Ayo, kamu bisa!". Hehehe, entar komentar itu didasarkan kepercayaannya akan kemampuanku atau karena dia sodah bosan direpotin aku. Huah, piss, Pa.

Jum'at sore ada kejadian lucu yang melibatkan aku, suami dan motornya. Setelah dua hari sebelumnya aku ngojek dari kantor ke rumah biar ga mepet adzan maghrib sampe di rumah, Jum'at kemarin aku kembali ke ritual menunggu suami. Setelah dia sms agar aku menunggu di halte (yang berarti dia sudah di seputar Cawang), aku langsung menyebrang dan duduk manis di halte. Tapi setelah ditunggu-tunggu, dan aku liat kedatangannya spontan aku beranjak dari dudukku. Tapi tennyata, dia malah mbablas ga berenti di halte. Kontan saja aku terpana diantara kebingungan. Aku langsung menelponnya sambil menyusulnya, tengsin sama tukang ojek yang mangkal di halte.  Terjadi percakapan berikut.

"Apa sih?", sahutnya saat menerima panggilanku. Nadanya agak sebal.

"Kok aku ditinggalin sih, Pa?", aku bener-bener bingung.

"Ditinggal apaan?", masih belum ngeh.

"Iya, kok dikau ga berenti di halte?", sahutku dengan nada bingung.

"Oh, .....", Hp dimatikan.

"????", aku semakin bingung. Aku coba hubungin lagi.

"Kok dimatiin sih?", suaraku hampir putus asa.

"Iya nih, aku sedang menuju ke arahmu", jawabnya.

Dan kulihat suamiku melawan arus menuju ke arahku. Huahaahahaha. Untung saat itu moodku sedang baik, kalo ga mungkin kedatangannya akan disambut dengan wajah bete. Sepanjang jalan kita menertawai kejadian itu. Kata suamiku, dia ga nyadar kalo dah melewati halte seberang kantorku. Mungkin kalo aku ga ngliat kedatangannya, dia nyadarnya pas kena macet di lampu merah Jambul. Ada-ada saja. Sampe saat ini, kalo mengingat kejadian Jum'at sore itu, bikin aku tertawa sendiri.

4 komentar: